
Sebelumnya saya ingin memberikan pengantar sedikit mengenai topik bahasan kali ini. Parenting atau pola asuh, selalu menarik untuk diperbincangkan apalagi untuk perempuan seusia saya, yang sudah menikah, sebagian mungkin sudah dikaruniai anak.
Sebagian mungkin sedang dalam masa kehamilan atau sedang mempersiapkan pernikahan atau sebagian bahkan mungkin belum ada rencana menikah tapi memang tertarik atau passionate dengan pembahasan mengenai parenting.
Tulisan ini saya tulis dua hari sebelum momen anniversary 1 tahun pernikahan saya dan suami. Kami merasa 1 tahun ke belakang terdapat banyak hal yang dapat menjadi pembelajaran kami menjalani kehidupan rumah tangga ke depannya.
Bagi kami, momen menunda untuk memiliki momongan selama satu tahun kemarin juga membantu kami lebih mengenal tujuan hidup satu sama lain dan khususnya tujuan hidup dan value diri kami masing- masing sehingga setelah ini kami lebih siap dan kompak sebagai partner kehidupan.
Seperti pasangan lain tentunya, kami memutuskan mulai berencana untuk memiliki anak, mohon doanya, semoga perjalanan kami memiliki anak diberikan kemudahan dan diberkahi.
Ketika membicarakan soal anak tentunya erat sekali dengan pembahasan pola asuh orangtua. Saya dan suami sudah sering kali berdiskusi mengenai pola asuh. Memiliki background orangtua yang berbeda, tumbuh di lingkungan dan daerah yang berbeda serta memiliki pengalaman tinggal di dua negara yang berbeda membuat kami memiliki perspektif yang bagi kami perlu untuk didiskusikan.
Saya sendiri sudah cukup lama tertarik untuk mengenal dan membaca lebih jauh pola asuh orangtua di beberapa negara, seperti Jepang, Korea, scandinavian countries (Denmark, Swedia, Finlandia), serta beberapa negara Eropa seperti Jerman dan Polandia. Beberapa bulan yang lalu, saya sedang mencari rekomendasi buku tentang pola asuh dan saya menemukan buku dengan judul, “The Danish Way of Parenting”.
Buku ini menarik mengingat Denmark digadang-gadang sebagai negara paling bahagia di dunia dan tentunya kita semua ingin membesarkan anak dengan pola asuh yang membuat anak tumbuh menjadi manusia yang bahagia dengan hidupnya.
Di tulisan ini, saya akan mencoba merangkum hal- hal penting yang saya dapatkan dari buku “The Danish Way of Parenting”. Buku ini ditulis oleh Jessica Joelle Alexander seorang penulis yang menikah dengan orang Denmark & Iben Dissing Sandahl seorang psikoterapis yang telah bekerja bertahun- tahun dengan keluarga dan anak- anak. Buku setebal 180 halaman berisikan hasil riset, kajian bertahun- tahun yang dilakukan serta fakta yang ada dan berbagai referensi yang menunjang.
Istilah The Danish Way of Parenting sendiri terlahir dari pola- pola yang diamati penulis bahwa memang ada filosofi kebudayaan dan pengasuhan cara Denmark dalam kehidupan sehari- hari sehingga pola asuh Denmark berhasil membuat anak- anak di sana tumbuh bahagia menjadi orang dewasa yang bahagia, serta membesarkan anak- anak yang bahagia juga.
Tujuan dari penulisan buku ini tentunya menawarkan kacamata yang baru dan mungkin berbeda bagi sebagian pembaca, calon orang tua masa depan, sehingga dengan mengetahui pola asuh ini wawasan kita menjadi semakin luas, kita dapat memilih dan memilah pola asuh yang akan kita terapkan dan tentunya cocok dengan diri kita dan anak- anak kita masing- masing.
Harapannya kita bisa menjadi orangtua yang semakin baik lagi untuk generasi selanjutnya. Buku ini terdiri dari 7 Bab (P – A – R – E – N – T), saya akan mencoba mengambil hal penting dalam tiap babnya.
Bab 1 Mengenali Apa yang Menjadi Pembawaan Alami Kita
Dalam buku ini diceritakan suatu peristiwa ketika seorang anak dalam kondisi bahaya seperti di jalan raya dan sering kali orangtua tidak bisa menahan diri untuk meledak memarahi anaknya karena tidak mendengarkan perintah orangtua.
Padahal menjadi orangtua kita perlu memiliki kesadaran diri bahwa kita memiliki default setting yang sering kali kita lakukan sebagai reaksi menanggapi stress yang ada. Dan kondisi ini tidak benar, karena kita sebenarnya tahu ada cara yang lebih baik. Ketika kita sudah memiliki kesadaran ini, kedepannya akan menjadi mudah melakukan perubahan yang efektif.
Bab 2 P untuk Play (Bermain)
Biarkan anak untuk bermain. Di era modern ini, sebagai orang tua kita kerap kali berusaha keras memberikan berbagai kursus atau menyekolahkan anak kita dengan jadwal sekolah yang padat dengan harapan anak- anak kita akan sukses dan berprestasi.
Seakan- akan bermain untuk anak- anak hanya membuang waktu berharga. Padahal bermain bebas sesungguhnya mengajarkan anak tentang ketangguhan dan ketangguhan adalah faktor penting dalam meraih kesuksesan. Ketika anak bermain dengan temannya, anak akan belajar mengelola emosi, meredakan kecemasan dan kontrol diri yang merupakan kunci hidup sehat sebagai orang dewasa.
Dengan bermain anak belajar menghadapi stress, berteman dan realistis sehingga menjadikan mereka kuat dalam menghadapi jatuh bangun kehidupan. Sebagai orangtua kita juga turut membantu anak belajar mengembangkan pusat kontrol dirinya dan tumbuh mandiri.
Bab 3 A untuk Autentisitas
“Tidak ada warisan yang lebih berharga dari pada kejujuran”- William Shakespeare. Untuk mendidik anak menjadi pribadi yang jujur dan berani maka mengasuh anak secara natural adalah langkah pertama. Kita sebagai orangtua perlu menunjukan bahwa tidak masalah mengekspresikan apa yang kita rasakan, perasaan marah, senang, sedih, semua adalah manusiawi.
Berani mengakui, adalah cara yang baik untuk mengajarkan vulnerability. Hal penting lainnya adalah tidak memberi pujian berlebihan kepada anak terlebih pada sesuatu yang sifatnya permanen, seperti kepintaran, melainkan berikan pujian terhadap usaha mereka ketika meraih sesuatu dan menghadapi kegagalan. Serta ingatkan anak untuk tidak membandingkan dirinya dengan orang lain, karena dia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain.
Bab 4 R untuk Reframing (Memaknai Ulang)
Memaknai ulang suatu kebenaran menjadi penting dan menarik karena mengajarkan anak tentang pola pikir yang terbuka. Dalam memandang suatu hal, suatu pernyataan adalah relatif.
Anak memiliki kepribadian yang optimis realistis dengan menyaring informasi negatif yang tidak perlu misalnya gagalnya anak dalam ujian matematika, bukan berarti anak gagal, tetapi ketika dimaknai ulang adalah momen anak memperdalam materi yang sudah ia pelajari.
Sebagai orangtua perlu menghindari labelling pada anak, membantu menemukan sisi yang lebih terang dalam setiap situasi akan mengajarkan anak menjadi lebih kuat.
Bab 5 E untuk Empati
Terdapat beberapa tipe keluarga yang dapat merusak kemampuan anak dalam berempati, seperti kekerasan pada anak, orangtua yang terlalu melindungi dan menghindari konflik, serta overprotective parent. Membantu mengembangkan empati pada anak secara dini membantu menciptakan hubungan yang lebih baik dan peduli pada masa depan.
Cara yang dilakukan untuk mengembangkan empati anak adalah dengan tidak menghakimi anak dan mengkonfirmasi emosi orang lain pada anak. Contohnya menanyakan perasaan anak lain ketika anak kita merebut mainannya. Lalu, mencoba untuk menemukan jalan keluarnya atau win- win solution.
Bab 6 N untuk No Ultimatum
Orang- orang Denmark ingin anak- anak memiliki respek dan hal ini terjadi dua arah. Alih- alih memberikan respon agar anak tidak mengulanginya lagi dengan ancaman, tawarkan anak jalan keluar. Berikan beberapa opsi kepada anak.
Orangtua perlu menggunakan cara- cara yang kreatif agar anak menjadi paham. Kita perlu mengingat bahwa tidak ada anak yang buruk, yang ada adalah perilaku yang buruk, maka kita fokus pada perilaku yang buruk itu untuk kita dan anak selesaikan.
Bab 7 T untuk Togetherness dan Hygge
Anak- anak perlu merasa terhubung dengan yang lain, berkumpul dan bersantai bersama keluarga, meluangkan waktu untuk menghabiskan waktu bersama akan menumbuhkan ikatan kebersamaan yang kuat.
Dampaknya ketika dewasa anak tahu bahwa ada orang yang bisa ia ajak bicara atau diminta pertolongan ketika situasi sedang sulit dan karenanya anak menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan hidup berikutnya.
Simpulan
Sebagai orang Indonesia, saya yakin kita memiliki banyak sekali nilai- nilai baik yang diajarkan orangtua- orangtua kita dalam kehidupan sehari- hari. Dan itu tidak kalah baiknya dengan karakteristik pola asuh dari negara lain.
Dengan mengetahui cara orang Denmark mendidik anak, tentunya kita menjadi tahu ada hal- hal yang sudah kita terapkan sebagai orangtua Indonesia kepada anak- anak kita agar tumbuh menjadi orang yang bahagia, tapi juga ada hal yang baru kita dapatkan dan bisa kita terapkan kepada anak- anak kita nanti.
Ide- ide di atas mungkin terkesan cukup idealis, dan kenyataannya akan lebih sulit untuk diterapkan. Tapi tidak masalah, ide- ide tersebut sekaligus mengingatkan kita juga. Memberi ruang pada kesalahan.
Menjadi orangtua adalah pembelajaran sepanjang hayat, yang kita butuhkan adalah pikiran yang terbuka dan hati yang lapang, memahami apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan kita, berusaha memberikan yang terbaik untuk anak- anak kita kelak. Selamat belajar ~